Senin, 15 Desember 2008

Terjebak dalam Contradictio in Terminis


Saya menemukan kumpulan kata "contradictio in terminis" saat melihat review buku Legacy of Ashes, The History of CIA karya Tim Weiner di sebuah situs. Mungkin sebelumnya pernah liat, tapi belum terasa 'magnet'nya. Kata-kata yang unik. Contradictio in Terminis, secara sederhana bisa diartikan sebagai kontradiksi. Melirik ke Wikipedia, di sana ada contoh liquid ice dan square circle. Mungkin sama dengan sekumpulan orang yang mengadakan sumpah dan baiat anti korupsi, tapi pada kenyataannya nggak punya malu untuk ngambil uang rakyat.

Membicarakan korupsi terang-terangan, jadi ingat anggaran Pemda DKI Rp 35 juta untuk satu laptop karyawannya. Alasannya, karena nggak tau harganya, jadi dipakailah batas atas/maksimal. Kayaknya saya pingin banget teriak "Helllooooo...." dengan gaya
teenager masa kini. APA NGGAK BISA SURVEI HARGA, MINTA BROSUR, BROWSING, ATAU NANYA KE ORANG YANG BARU BELI LAPTOP?????? Emangnya mau laptop secanggih apa sih?? Emangnya laptop itu nanti mau digunain buat apa sih?? Apa daya, RAPBD 2009 sudah disahkan. Saya cuma bisa berdoa semoga alasannya bukan "supaya lebih asyik main solitaire" atau "supaya chatting dengan teman beda ruangan makin lancar". Saya berharap, semoga laptop canggih itu bener2 dipakai untuk proyek perencanaan tata kota yang lebih baik. Amiin...

Anyway, contradictio in terminis
juga bisa terjadi dalam diri manusia. Kita mungkin seringkali terjebak dalam situasi kontradiktif. Benci tapi rindu, mau melanjutkan kuliah tapi malas mendaftarkan diri ke universitas tujuan, ingin maju dalam karir tapi ogah mengembangkan network dan segan mengikuti berbagai forum diskusi. Termasuk juga ingin segera meninggalkan status lajang tapi belum siap seandainya ada yang ngajak nikah tiga bulan lagi. Atau mengatakan hidup ini indah lalu menangis sejadi-jadinya sedetik kemudian. Atau, kaum miskin di Jakarta makin banyak sementara mal megah yang menjadi fasilitator penyerbuan merk dunia juga makin banyak. Aneh. Tapi nyata.

Seringkali otak dan hati beradu argumen. Logika dan perasaan berbenturan. Saat kita merasa perlu melakukan sesuatu, saat itu pula ada bagian diri kita yang mengatakan sesuatu itu tak perlu dilakukan. Contoh nyata adalah ketika seseorang jatuh cinta. Akal sering tak bisa menerima apa yang hati katakan. Tapi karena perasaan menang dari logika, maka hal yang sepertinya tak masuk akal terasa mudah dan penting untuk dilakukan. Atau ketika orang yang ada di hadapan kita tidak memiliki akhlak karimah, tapi karena terlanjur cinta, maka kita menjadi permisif.


Dan terjebak dalam
a contradictio in terminis sungguh menyiksa. Sederet keinginan, mimpi, dan harapan telah terbangun dalam layar imajinasi. Tapi di kehidupan nyata, tak ada satu pun (atau mungkin hanya satu di antaranya) yang menjadi kenyataan. Bukan karena tidak direstui "langit", tapi karena usaha kita tidak sebesar harapan kita. Karena bagaimanapun juga, yang terpenting dalam meraih sesuatu adalah prosesnya.

Panas dingin. Gelap terang. Maju mundur. Jika ditelaah, sebuah contradictio in terminis tidak akan melahirkan dinamika dan pergerakan. Kontradiksi hanya melahirkan kebingungan, kesangsian, dan kestatisan. Tak ada langkah maju, karena mata tertutup dan kita bak berada dalam ruangan sempit tanpa sinar mentari. Sama seperti ketika saya menulis ini..benak saya meletupkan banyak kata-kata untuk diterjemahkan secara tertulis. Tapi sayang, apa yang saya tulis tak sesuai dengan apa yang ingin saya sampaikan. Bingung? Maklumlah, namanya juga sedang terjebak dalam sebuah contradictio in terminis...

Senin, 08 Desember 2008

Hakikat dan Makna Keibuan


Setiap orang punya pendapat masing-masing tentang sosok ibu. Bagi sebagian remaja sekarang, konsep ideal seorang ibu kira-kira “a superwoman who can act as a mother, friend, and sister. She always listens to what I want.” Konsep ideal ini secara implisit menyuarakan keegoisan dari orang yang mengatakannya, karena memfokuskan pada apa yang bisa ia peroleh dari ibu. Tidak ada gambaran utuh seorang ibu.


Sosok ibu amat lekat dengan konsep keibuan. Dalam persepsi saya, keibuan adalah manifestasi sifat dan sikap seseorang. Di mata saya, seseorang yang keibuan memiliki sifat welas asih, penyayang, penyabar, halus budi, arif, dan lembut. Berbagai sifat itu kemudian terakomodir dalam sikap mengayomi, mendidik, mengasuh, mendukung, dan pengertian. Keibuan adalah karakter kuat seorang perempuan yang menjadikannya berbeda dari laki-laki.


Seorang perempuan yang keibuan seharusnya bisa merasuki hati anak-anaknya dengan berbagai petuah dan hikmah tentang kesederhanaan dan kejujuran. Sifat dan sikap keibuan hendaknya bisa memotivasi anaknya untuk selalu hidup dalam kebaikan dan tidak melawan hati nurani. Sifat keibuan seharusnya bisa menjauhkan seseorang dari sifat rakus, pemarah, perusak, maling, dan hina. Tapi jika dilihat-lihat betapa makin tidak tau malunya para koruptor, preman, perampok, perempuan tuna susila, pembunuh, hingga pemuja seks bebas, apakah ini tandanya sifat dan sikap keibuan telah memudar?


Apakah perempuan semakin terlempar jauh dari kodrat keibuannya? Bukankah seharusnya sebagai induk dari tunas dan cikal bakal kehidupan, seorang ibu tak boleh terpisah dari keibuan sebagai citra dirinya? Benarkah keinginan untuk “berdiri sama tinggi” dengan laki-laki membuat perempuan tak bisa menghargai kelebihan yang dianugerahkan Allah untuknya?


Ya..perempuan mungkin khilaf, bahwa memerjuangkan hak perempuan untuk setara dengan laki-laki bukan lantas menafikan kekhasan yang melekat dalam dirinya. Karena, mengakui adanya perbedaan dengan laki-laki, bukan berarti perempuan menjadi lebih lemah atau lebih rendah kedudukannya.


Secara fisik, dengan kemampuan menahan sakit saat datang bulan, mengandung sembilan bulan, dan melahirkan..hanya orang gila yang mengatakan perempuan lebih lemah dari laki-laki. Jika dilihat dari kemampuan perempuan mengharmonikan pekerjaan rumah tangga dengan kasih sayangnya merawat suami dan anak-anak, hanya orang tidak waras yang mengatakan perempuan lebih lemah dari laki-laki. Belum lagi jika menyimak sabda Nabi Muhammad yang mengutamakan ibu tiga kali lebih penting dari ayah, masihkah kita berani mengatakan bahwa perempuan berkedudukan lebih rendah dari laki-laki?

Dengan begitu banyak kekhasan perempuan, bisakah perempuan menyukuri besarnya karunia Allah padanya? Mampukah perempuan menjaga amanah untuk melestarikan sifat dan sikap keibuannya dalam kehidupan sehari-hari? Dapatkah perempuan, di tengah ingar-bingar kompetisi berkarir dan riak gaya hidup kosmopolitan, menyebarkan sifat welas asihnya kepada sesama?


Ada yang bilang, sikap keibuan muncul otomatis ketika seorang perempuan melahirkan seorang anak. Inilah yang dinamakan naluri alamiah. Seorang ibu tentu akan sangat mencintai dan melindungi buah hatinya. Inilah sebuah perasaan yang tak bisa dipungkiri nurani. Lalu, apakah seorang perempuan lajang workaholic serta merta menjadi tidak memiliki sifat keibuan? Apakah seorang perempuan yang berpenampilan (dinilai orang) cenderung tomboi—karena lebih sering bercelana panjang daripada mengenakan rok—berkurang kadar keibuannya? Apakah perempuan yang memiliki banyak cita-cita dianggap belum terasah sifat keibuannya karena belum berkeluarga? Sejauh mana konsep keibuan melekat pada diri seorang perempuan?


Bagi saya, sifat dan sikap keibuan tidak berbanding lurus dengan penampilan fisik (rambut panjang, tubuh langsing dengan lekuk khas kaum hawa, suara merdu) atau status pernikahannya. Perempuan yang keibuan akan mampu membuat orang-orang di dekatnya merasa tenang dan nyaman. Nyaman untuk berbagi, menumpahkan perasaan, dan berdekatan dengannya. Orang-orang pun akan merasa diperhatikan, dicintai, dan disupport. Sebaliknya, seorang perempuan yang bawaannya grasak-grusuk, kasar dalam berkata-kata, tidak memerhatikan kepentingan orang lain, tidak peka terhadap kesulitan orang di sekitarnya, dan tidak bisa menikmati hidupnya...bagi saya, inilah tipe perempuan yang harus berlatih keras memancarkan sifat dan sikap keibuannya.


Maka, ketika seorang teman mengkritik bahwa saya kurang keibuan, tak urung kening saya berkerut. Apa saya benar-benar tidak bisa menghargai kelebihan saya sebagai perempuan: lemah lembut, pengertian, mengasihi. Duh, separah itukah saya?

Minggu, 30 November 2008

Mellow Weeks, Weeks of Tears


“Love makes the world go round. Even if you’re dead.” Last words from Rolling Stone review on Twilight, the movie. I finally read the book. Great. Pas banget dengan my mellow weeks, minggu melankolis yang tanpa disadari ternyata sangat melelahkan. I miss something (or someone) very bad. However, learning the inner peace that we own is not that easy. Harus melalui perenungan yang cukup panjang. Dan terkadang, merenungnya belum selesai, ternyata keburu menyerah dan kembali merutuki nasib dan ngiler ngeliat rumput tetangga yang tampak lebih hijau. Dasar manusia. Itulah kenapa sekarang lagi giat-giatnya berdoa semoga diberi hidayah agar hari ini lebih baik dari hari esok.


My weeks of tears began with questions about love and marriage. Banyak orang yang bingung kenapa belum juga dipertemukan dengan pasangan hidupnya..sementara nggak sedikit orang yang baru cap cip cup ngerasain that enak-enak-enak moments trus tiba-tiba menghadapi masalah, langsung menyerah dengan alasan demi kebaikan bersama. Jadi pernikahan yang kemarin dilaksanain dengan berbunga-bunga dan keyakinan 180% itu nggak mengandung kebaikan ya? I still don’t get the point.


Then, a question about true love came. Gara-garanya, dengerin sambil baca Malaikat Juga Tahu. I really wanna sing that song for someone, and hope someone will sing it for me. Not only about the meaning of the song. Tapi juga membayangkan betapa indahnya saling mencintai. Lepas dari siapa yang akan jadi juara..for now, i know that Bunda’s love is a winner. No one can describe the purity of her love. No doubt. Well, maybe Bella Swan and Edward Cullen will be on the second place:)


Cinta sejati datang tanpa syarat. Tanpa waktu kedatangan yang jelas. Namun bentuknya jelas. Siap menerima kekurangan, menghargai apa yang berbeda, menyemangati tanpa lelah, dan siap untuk jatuh cinta lagi dan lagi pada satu orang yang sama.


Dari cinta, I suddenly remember death. Seems it’s not mellow anymore, huh? Thought of death makes me feel empty. I feel like I haven’t do good things in life. And I suddenly so afraid that I have no time to fix my problems and live a better me. I’m so afraid that my time is up. Jadi inget, pingin banget profil saya ada di wikipedia atau situs tokoh terkenal. It’s not about being famous. But when ur name is on the list, it means that u did something useful and great for people. Penjahat kriminal yang kiprahnya ada di situs-situs, tentu saja pengecualian.


Tapi akhirnya, ketakutan itu menimbulkan kesadaran dan tekad baru untuk menjalani akhir tahun dengan sepenuh hati. Saatnya berbenah dan menyiapkan diri. Bersiap untuk berbagai kejadian besar di tahun depan. Setelah menyimak apa yang terjadi dalam kurun hampir satu tahun, terlihat mana yang membaik, mana yang berjalan flat, tersendat, dan mana yang mengalami kemunduran. Akhir tahun adalah sebuah perenungan dan tempat mengevaluasi diri. Meskipun introspeksi dapat dilakukan kapan saja, tidak harus menunggu bulan Desember.


So i hope my mellow weeks bring more cheerful days for me. So i can share my cheerful life to others. I know that life is too short to cry for. But i’m sure my tears won’t make me weak. Sebaliknya, airmata mengajarkan pentingnya menjalani kehidupan sebaik mungkin. Sekuat mungkin. Sedamai mungkin. Seberguna mungkin. And we can start it now. In the name of love..atas nama cinta. Cinta oh cinta. Ugh..what a mellow yellow me!

Minggu, 26 Oktober 2008

Ratmadi, Syekh Puji, dan Lima Jaksa BLBI


Life is like a roller coaster. Suatu ketika kita bisa berada di atas, lantas secepat kilat menukik tajam. Rasanya belum sempat menikmati masa "kejayaan" saat tiba-tiba kita tersadar bahwa kita sudah tak punya apa-apa. Begitulah hidup. Tak ada yang bisa menebak apa yang terjadi hari esok, lima jam mendatang, dua puluh menit kemudian, atau lima detik dari sekarang. Sebuah rahasia yang hanya bisa dijalani dengan bismillah..mengharap Dia melindungi kita yang sedang berusaha keras meraih asa.

Pertengahan hingga menjelang akhir Oktober diwarnai suspensi bursa efek. Meski masyarakat awam terhadap kegiatan bursa, tak pelak heboh dari lantai bursa mewarnai headline media massa. Maka, seperti biasa, mengalirlah pro kontra. Para pengamat ekonomi berlomba menganalisis, mengkritik, dan memberi masukan. Direktur Utama BEJ, Erry Firmansyah, menjadi star of the day. Wajahnya muncul di berbagai stasiun tv. Suspensi pasar bursa juga menyeret nama grup usaha yang melibatkan orang terkaya se Asia Tenggara tahun 2008 versi majalah Globe Asia. Rumor menggelinding..isu menggeliat..ditambah 'bumbu penyedap' maka gosip seputar kebangkrutan dan penjualan anak perusahaan konglomerasi itu pun menjadi bisik-bisik yang laris beredar di telinga sebagian masyarakat.

Setelah kembang kempis ekonomi global menjadi topik hangat perbincangan di warung kopi pinggir jalan (dengan hidangan andalan: kopi plus debu) hingga coffee shop bintang lima yang sejuk tenan.. muncullah rekaman suara Ratmadi Saptondo, sang Kepala Kejaksaan Negeri Tilamuta, Kabupaten Boalemo, Gorontalo, sedang 'ngobrol' dengan Kepala Panitia Lelang Pemkab Boalemo, Subhan Umar. Suaranya keras bernada kesal sambil menyebut nama Bupati Boalemo, Iwan Boking dan cibiran terhadap kepolisian. Yang bikin hot, si Kajari menyebut akan membongkar kasus-kasus Pak Bupati seandainya nggak dikasih uang 50 juta. Wuidih..ngambeknya minta 50 juta! Jadi inget waktu kecil dulu. Kalo lagi ngambek, 'disuap' satu permen juga dah seneng. Ternyata beda usia, beda jaman, beda proporsi:) Dan tanpa ba-bi-bu, Pak Jaksa Agung, Hendarman Supandji, langsung memecat Pak Kajari yang langsung berubah status jadi Mantan Kajari. Sama kayak Pak Erry, Ratmadi pun jadi buah bibir di mana-mana. Seleb dadakan!

Setelah gonjang-ganjing dugaan korupsi dengan Ratmadi sebagai leading actor, hot seat akhir Oktober ditempati oleh Pujiono Cahyo Widianto a.k.a Syekh Puji (43) yang ketauan menikahi Lutfiana Ulfa, gadis berusia hampir 12 tahun. Alasan Syekh Puji, Ulfa adalah istri yang akan disiapkan menjadi penerus kerajaan bisnisnya dan dalam usia belia inilah saat yang tepat untuk kaderisasi, pembelajaran, dan 'penggojlokan'. "Mental dan pikiran anak kecil masih lurus, belum terkontaminasi hingga mudah diarahkan." begitu kira-kira pendapat Syekh Puji. Ia mengaku terinspirasi pengaderan yang dilakukan Akio Morita, pendiri kerajaan elektronik Sony. Hebohnya lagi, Syekh Puji ternyata menikahi Ulfa secara sirri pada tanggal delapan bulan delapan tahun dua ribu delapan. Ulfa adalah kandidat calon istrinya yang kedua puluh satu. Kata tim sukses Syekh Puji, selain cantik, Ulfa sangat pintar. Itulah kenapa gadis yang baru lulus SD itu terpilih jadi istri kedua Syekh Puji setelah Ummi Hani.

Sampai hari ini (27/10/08), nama Syekh Puji masih ramai dibicarakan. Mulai dari MUI, HTI, para pakar medis, hingga Kak Seto, ramai mengkritik langkahnya. Toh, Syekh Puji bergeming. Dia merasa apa yang dilakukan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, agamanya, bahkan cenderung meniru Rasulullah. Padahal, untuk alasan ini, rentang waktu, kebutuhan, dan dalil syar'i nya bisa jadi berbeda 180 derajat dari yang dilakukan Nabi. Bahkan, Syekh Puji dihadang UU Perkawinan tahun 1974 dan UU No. 23 tahun 2002.

Tapi..dari sekian ingar-bingar yang membuat kita mengernyitkan dahi dan mengelus dada..ada satu kisah yang membuat kita bersyukur dan (tidak dilarang) meneteskan airmata. Dari 35 jaksa tim penyelidik kasus BLBI ada lima orang jaksa yang terpaksa jual mobil demi memiliki biaya untuk operasional penyelidikan. Mana ada pejabat jaman sekarang rela ngorbanin harta pribadinya untuk kepentingan tugas negara? Can u imagine? Sementara sang ketua tim, UTG, justru sibuk 'jual beli permata' demi mendapat 660 ribu dolar Amerika dari Artalyta Suryani, yang mengaku cuma seorang ibu rumah tangga. Mmm..dengan kepiawaiannya mengontrol para jaksa, sepertinya Ayin (panggilan akrab Artalyta) lebih cocok jadi pialang saham, mandor, atau juru lelang yang berkuasa membuat orang lain mengikuti aturannya. Anyway, kelima jaksa "unbelievable" itu mungkin tak pernah disebut dan diekspos (ini yang disesalkan Jaksa Agung) padahal dedikasi mereka membuat kita geleng kepala karena takjub.

Life is a roller coaster. Mungkin banyak orang lupa bahwa apa yang kita jalani di dunia hanyalah sementara. Setelah senang, ada susah. Begitu juga sebaliknya. Setelah naik, kita akan turun. Setelah malam, pagi pun datang. Dan kejahatan, pasti tak akan menang melawan kebaikan (meskipun kejahatan selalu tampak lebih bersinar dan gemerlap dibanding kebaikan). Maka, mumpung masih hidup, mumpung hidup cuma sekali, hiduplah yang berarti.



Kamis, 02 Oktober 2008

Bukan Sembarang Romansa



Ramadhan 1429 H telah berlalu. Fajar Syawal yang ditandai hadirnya Idul Fitri juga telah menyingsing. Semoga kita termasuk ke dalam golongan minal aidin wal faizin; yang berhasil kembali suci dan menjadi pemenang. Sinar Idul Fitri menyusupkan harapan baru tuk menjadi insan yang naik ke kelas lebih tinggi. Sebuah harapan yang telah terangkum dalam doa dan menjelma menjadi tekad. Mudah-mudahan sekuat tekad Laskar Pelangi yang tak lelah dan tanpa putus asa menggantungkan cita setinggi langit.

Laskar Pelangi hadir di saat yang tepat. Novelnya hadir ketika hati merutuki betapa sialnya hidup ini. Tak terbayang bagaimana seorang Lintang, sang jenius alam, begitu rela kehilangan masa depannya demi menghidupi adik-adiknya. Sementara tak sedikit dari kita, dengan kadar kepintaran yang sangat jauh di bawah Lintang, bisanya hanya mengeluh karena tidak punya karier hebat dan uang melimpah.

Lintang datang untuk menumbuhkan nyali yang telah menciut. Bagaimana begitu kerdilnya kita karena telah menyia-nyiakan anugerah dari Allah. Dengan mudahnya kita membolos karena bosan, tak memperhatikan guru dan dosen yang mengajar, mencontek saat ulangan dan ujian, mengabaikan semua peraturan sekolah, dan mengabaikan ilmu yang diperoleh setelah lulus kuliah. Dalam fase hidup selanjutnya, kita pun selalu mengeluh kekurangan, tanpa menyadari bahwa cawan karunia kita sebenarnya telah penuh, bahkan luber.

Kita tak pernah sadar betapa beruntungnya kita bisa mengisi cakrawala berpikir dengan berbagai ilmu, sampai Lintang dengan sepeda yang harus dikayuhnya, buaya yang menghalangi jalannya ke sekolah, dan adik-adik perempuannya yang masih kecil, menampar kita dengan kesungguhannya meraih masa depan (meski akhirnya takdir membawanya pada 'perjuangan hidup' yang lain). Kita tidak sadar bahwa detik demi detik hidup kita amat berharga sehingga begitu bodoh jika disia-siakan hanya untuk mengecilkan diri, menyerah pada kesulitan, dan selalu menyalahkan nasib. Coz, we don't know what we've got, till it's gone..

Kehadiran Laskar Pelangi the movie di penghujung Ramadhan tahun ini juga melengkapi perenungan sepanjang bulan suci. Menginspirasi dan mengelaborasi kualitas diri. Menyaksikan (walaupun gambar visual tetap tak bisa menggantikan keliaran imajinasi dan interpretasi saat baca novelnya) Zulfanny cs bermain asik berhasil 'memaksa' airmata berlinang sekaligus memompa semangat untuk be a better me from now on...

Maka..
  • Jangan mengeluh, karena setiap ucapan yang keluar dari bibir kita adalah doa
  • Jangan berpikir terlalu keras untuk sesuatu yang belum terjadi, karena memprediksi masa depan sama sekali bukan keahlian kita
  • Jangan malas, karena rezeki dan kebahagiaan tidak gratis dan tiba-tiba diturunkan dari langit
  • Jangan memuja IQ, karena IQ semata akan jadi bencana tanpa EQ dan SQ
Laskar Pelangi mengajarkan kejujuran, kegigihan, dan keberanian mengejar mimpi. Karena keberhasilan tak sekadar cakap secara duniawi, tapi juga dari kebeningan hati dan akhlak terpuji. Keelokan paras, kepintaran, dan kekayaan mungkin membuat kita silau. Tapi camkan, bahwa semua itu tak menjamin seseorang menjadi orang baik dan terhormat di mata Allah. Hanya manusia yang buta matahatinya, yang selalu menomorsatukan atribut duniawi dalam menilai orang lain...

menarilah dan terus tertawa, walau dunia tak seindah surga


Jumat, 26 September 2008

Jujur pada Diri Sendiri


Mengapa bersikap jujur (sering) terasa tidak mudah? Karena kita juga (sering) tidak bisa jujur pada diri sendiri. Kita lebih suka melakukan penyangkalan terhadap perasaan suka, gelisah, benci, takut, penasaran, dan kegamangan emosi lainnya. Kita tidak sadar bahwa semakin kita menolak menyadari gejolak emosi yang mendera, kita akan semakin sulit mengenali diri sendiri. Mengapa? Karena semua tentang diri kita tertutup selaput tipis, yang mampu meredam perasaan kita agar tak mencuat ke permukaan.

Bayangkan betapa tersiksanya saat kita harus menipu diri sendiri, ketika tanpa sadar perasaan suka, sayang, dan cinta tumbuh terhadap seseorang. Penyangkalan demi penyangkalan yang kita maklumatkan hanya akan membuat perasaan itu tumbuh kian kokoh. Betapa bodohnya kita menyia-nyiakan pertemuan dengannya hanya dengan diam dan menatapnya diam-diam. Betapa angkuhnya kita, menyambutnya dengan datar, padahal ujung bibir begitu ingin melengkungkan senyum saat berhadapan dengannya. Karena kita tak berani mengakui perasaan kita sendiri, takut terluka bila ternyata dia tak bisa jadi milik kita. Tak berani jujur pada diri sendiri dan memilih untuk membohongi nurani.

Di sisi lain, bayangkan betapa munafiknya kita mengembangkan senyum untuk orang yang kita benci. Pura-pura antusias mendengar musik acid jazz saat kongkow di kafe, padahal sebenarnya kita adalah pencinta musik pop ringan yang mendayu-dayu. Atau berlagak kuat menghadapi pekerjaan berdead line ketat, padahal kita tak punya kompentensi untuk mengerjakannya. Ketidakjujuran itu hanya akan memaksa kita terus berbohong dan berbohong untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Tak ayal hidup pun terasa tak pernah menyenangkan.

Akibatnya, nurani pun terabaikan. Topeng seakan telah bersatu dengan wajah kita. Kita tak lagi tau apa yang sebenarnya sedang kita rasakan. Entah gembira, sedih, malu-malu, geram, atau sedang terpesona pada seseorang. Semua terjadi karena kita tak mau jujur pada diri sendiri. Karena kita memilih untuk lari dari kenyataan, memaksakan diri bahwa segala sesuatu berjalan baik. Padahal, kita bisa lebih merasa tenang jika tak membohongi diri sendiri.

Jika kita sudah tidak mau bahkan tak mampu lagi jujur pada diri sendiri, lalu bagaimana kita bisa berbuat jujur pada orang lain dan masyarakat? Para koruptor menjadi contoh bagaimana mereka telah berhasil membutakan mata hati, menutupi perasaan bersalah dan malu, hingga tak lagi memerdulikan kemaslahatan diri dan orang lain. Mereka sukses menghalangi nurani kemanusiaan mereka dengan silaunya kemewahan dunia yang bersifat sementara.

Maka jujurlah pada diri sendiri. Biarkan kaki melangkah mengikuti kata hati. Sinari jalan di depan kita dengan lentera jiwa yang dihidupkan dari sikap jujur pada diri sendiri. Jujur pada diri sendiri menjadi penting agar setiap lengkungan ombak perasaan yang naik turun dapat menjadi secangkir teh hangat di pagi bagi kita. Membangkitkan semangat, menenangkan, dan menambah kedinamisan hari-hari kita. Coz, honesty will bring happiness that we never feel before.

Jumat, 19 September 2008

Tidak Mengabaikan Nurani


Satu manusia, satu kepala. Setiap kepala memiliki pikirannya sendiri. Dari pengalaman, seseorang kan memiliki cara pandang tersendiri tentang hidup dan segala atribut di dalamnya. Hitam, putih, atau berada di antara keduanya. Menyukai atau membenci. Berterima kasih atau memaki.

Tapi mengapa hidup kerap terasa sangat berat?

Pertama, karena kita selalu berusaha menyenangkan orang lain tanpa memerhatikan diri sendiri. Padahal, akan sangat sulit membahagiakan orang lain manakala kita tidak bahagia. Bagaimana mungkin membuat orang lain tertawa sementara kita sendiri menangis? "Aroma" kebahagiaan yang kita sebarkan tentu tak akan tercium orang lain karena kita menutupinya dengan kaca kesedihan, kepura-puraan, dan keterpaksaan.

Kedua, karena kita selalu berusaha terlihat baik di mata orang lain. Padahal, kita tau bahwa nobody's perfect dan manusia adalah tempatnya salah. Berusaha semaksimal mungkin berbeda maknanya dengan memaksakan sesuatu di luar kapasitas diri. Berkorban akan menjadi mulia bila dilandasi niat baik dan dilakukan dengan cara yang arif. Tapi, pengorbanan akan menjadi mubazir ketika tak ada yang merasa tertolong dengan apa yang telah kita korbankan. Tanpa tujuan, pengorbanan justru bisa berubah arah menjadi riya.

Ketiga, karena kita belum bisa lepas dari masa lalu (baik atau buruk). Ketika langkah kita selalu dibayangi kegemilangan masa lalu, kita tak enggan bereksplorasi dan maju satu langkah. Kita takut kehilangan kemilau yang menyinari diri kita. Sebaliknya, terikat dengan kesalahan di masa lalu hanya akan melahirkan ketakutan. Ketakutan ini menjelma menjadi sifat ekstra perfeksionis, tidak fleksibel, dan serba tanggung.

Maka kita harus mampu merasakan bahagia sebelum mengajak orang lain mencicipi kebahagiaan. Kita harus mampu menolong diri sendiri untuk bangkit dari keterpurukan agar bisa mengangkat orang lain dari jurang keterpurukan. Kita harus bisa legowo menerima banyaknya perbedaan pendapat di muka bumi ini, agar bisa mengajak orang lain melihat sesuatu dari berbagai sisi demi menggugurkan konflik. Hal-hal tadi bukan mengajak kita untuk menjadi egois, tapi agar bisa lebih powerful dalam menebar kebaikan.

Dan kita pun harus berani mengaku salah bila memang melakukan kesalahan. Bukan menimpakan kesalahan pada orang lain hingga harus berbohong menutupinya (percaya, ini sangat melelahkan!). Yang perlu kita lakukan adalah berbuat yang terbaik dalam hidup agar tak ada kata menyesal dan kehidupan kita--yang hanya sekali--dapat membawa berkah untuk diri sendiri dan orang lain. Minta maaf dan bertobat yang dilakukan dengan tulus saat kita melakukan kesalahan, insya Allah dapat menjadi perekat jalinan ukhuwah. Manusia mungkin saja berbuat salah (karena itu sangat manusiawi), tapi seyogyanya tahu cara mengatasinya.

Kita juga harus konsentrasi pada apa yang sedang kita lakukan. Jadikan masa lalu sebagai panduan yang tak selalu harus dibaca. Jadikan sebagai pelajaran berharga yang bisa diambil ibrahnya. Maka kita tak akan terpenjara emosi dan dendam yang tanpa sadar siap menggerogoti jiwa kebaikan kita. Kita adalah hari ini. Bukan kemarin, bukan esok. Dengan begitu, hidup terasa sangat ringan.

Jadi, jangan pernah mengabaikan nurani. Karena nurani lah yang akan "menyurati" kita tentang apa yang semestinya kita lakukan. Karena nurani tak pernah ingkar, selalu terjaga dari sifat iri dan benci, serta mengajarkan kita untuk menjalani sisa usia kita sebaik-baiknya.

Minggu, 14 September 2008

Andai Memilih Itu Mudah...


Menjalani kehidupan berarti siap memilih satu dari sekian banyak pilihan di dalamnya. Siap memilih berarti siap dengan segala konsekuensi yang akan dihadapi. Siap memilih berarti siap mengambil risiko. Sayangnya, tak semua orang siap mengambil risiko.

Terkadang sulit sekali memutuskan satu pilihan karena kita tak siap menanggung risiko. Curang memang. Meski hati ingin sekali mencapai puncak gunung, kita tetap tak rela bersakit-sakit dahulu mengerahkan segenap kekuatan untuk mendaki.

Padahal, tak terbayang sudah berapa puluh kali kita harus memilih dalam setiap fase hidup kita. Pilihan besar seperti memilih jurusan di SMA, memilih jurusan dan universitas, memilih satu di antara tiga perusahaan yang menerima kita bekerja, memilih bank mana untuk menabung, memilih parpol mana yang paling sedikit mudaratnya dalam Pemilu, hingga yang paling sakral: memilih pendamping hidup. Belum lagi berbagai "pilihan kecil" lain seperti memilih what to wear on our first date, memilih antara open toe shoes atau stilleto heels (yang ini sudah jadi masalah "klasik" kaum hawa;-), hingga restoran mana yang cocok untuk tempat reunian. Jangan heran bila "urusan kecil" macam itu pun bisa jadi pemicu stres.

Saat dihadapkan pada satu atau lebih dari satu pilihan, alih-alih memilih, kita terkadang memilih untuk menutup mata. Pura-pura tidak tahu dan enggan berhadapan dengan prasyarat yang terbentang. Karena takut salah, takut sakit hati, dan tak sesuai harapan, kita memilih tak memilih. Alias abstain, alias golput. Sebenarnya, memilih untuk tidak memilih sah-sah saja. Asalkan, kita sadar bahwa pilihan yang disodorkan tak sebaik dengan apa yang kita sedang jalani. Tentu saja, keputusan untuk tidak memilih itu lahir dari sebuah pemikiran matang. Namun, bagaimana jika kita sudah merasa tidak betah dengan hidup kita dan kita tahu bahwa pilihan itu bisa jadi lebih menguntungkan?
  • Pertama, buatlah daftar kelemahan dan kelebihan dari beberapa pilihan yang datang pada kita. Mirip analisis SWOT seperti yang diajarkan para dosen semasa kuliah. Dari daftar yang terisi, kita akan tahu kebaikan apa saja yang bisa kita raih.
  • Kedua, ketika kita tahu hal mana yang memiliki kelebihan paling banyak, lihatlah juga kekurangannya sebagai perbandingan. Karena segala sesuatu tentu memiliki dua sisi, baik dan buruk. Pelajari baik-baik kekurangan tersebut, lalu tanyakan pada diri sendiri apakah kita bisa mengatasinya. Satu hal yang pasti, ketika kita memiliki tekad kuat untuk menjalani sesuatu, akan lebih mudah menemukan solusi untuk mengantisipasi kekurangnyamanan yang mungkin akan kita terima.
  • Ketiga, camkan dalam hati kita bahwa setiap pilihan memiliki konsekuensi yang harus ditaati. Ini adalah tantangan, bukan penghalang. Saat kita konsekuen dengan pilihan yang kita ambil, kita telah belajar menjadi dewasa dan gigih. Satu hal yang bisa membesarkan hati kita adalah "di balik setiap kesusahan pasti ada kesenangan. Dan di balik kesenangan pasti ada kesusahan." Jadi, tak perlu terlalu takut memilih. Salah memilih hanya akan terjadi bila kita tidak konsekuen dengan pilihan kita.
  • Keempat, jika itu berkaitan dengan memilih pendamping hidup. Ada hal-hal yang tak boleh dilupakan. Selalu libatkan keluarga untuk menilai apakah dia cocok untuk kita. Dan, jangan pernah mengabaikan kata-kata-Nya yang datang dalam bentuk kemantapan hati yang terbangun lewat istikharah. Karena bagaimanapun juga, pandangan manusia bisa saja tertipu. Tapi tidak dengan pandangan-Nya. Jika kita hanya bisa melihat seseorang secara parsial, Dia mampu menilai seseorang secara komprehensif
Andai memilih itu mudah, kita mungkin tak akan berkeluh kesah. Andai memilih itu mudah, kita mungkin tak pernah menyesali apa yang sudah terjadi. Andai memilih itu mudah, mungkin kita tak pernah melewati hari-hari yang dipenuhi kebimbangan dan ketakutan untuk melangkah. Andai memilih itu mudah, mungkin sekarang kita sudah dikaruniai anak yang lucu-lucu. Andai memilih itu mudah, mungkin kita tak akan menekuni profesi kita sekarang. Andai memilih itu mudah, kita bisa punya harta lebih banyak dari sekarang.

Gawat! Jika terus-terusan kita membatin andai memilih itu mudah..bisa-bisa kita tidak bersyukur dengan hidup kita sekarang. Jadi, lebih baik kita membalikkan perandaian itu. Uneasy but incredible. Justru karena memilih itu tidak mudah, maka kita bisa memaknai dan mencintai perjuangan hidup yang sarat peluh. Alhamdulillah...


Rabu, 03 September 2008

Bila Harus Menunggu


Kata orang, menunggu merupakan pekerjaan paling menjemukan dan mematikan kreativitas. Menunggu adalah ketidakpastian. Menunggu berarti menghabiskan detik demi detik tanpa melakukan apa pun. Sedemikian buruk makna menunggu di benak manusia. Maka kita pun berusaha keras membunuh kehampaan saat menunggu. Sambil antre di bank atau mesin atm, tak jarang kita membaca majalah, sibuk sms-an, menelepon teman, atau mendengarkan musik dari pemutar musik.

Dalam skala lebih besar, menunggu juga bisa jadi bencana tersendiri. Menunggu jodoh yang tak kunjung hadir, menunggu anak yang belum juga dianugerahkan Sang Khalik, menunggu untuk lepas dari status pengangguran, hingga menunggu kesembuhan orangtua yang sedang sakit parah. Kesabaran yang awalnya diniatkan, perlahan pupus dan meranggas. Hingga kemudian menyisakan amarah, sikap skeptis dan sinis, ketidakpercayaan diri, bahkan berbuntut ketidakpercayaan pada orang lain dan antisosial. Jika orang optimis mengatakan "jika orang lain bisa, mengapa saya tidak bisa" maka orang yang lelah menunggu akan mengatakan "mengapa selalu orang lain, bukan saya."

Saatnya untuk tidak tunduk pada menunggu. Ada banyak cara untuk mengusir jenuh dan ketidakpastian dalam menunggu. Pertama, jangan pernah menaruh kata "menunggu" di benak kita. Enyahkan jauh-jauh. Katakan pada diri sendiri bahwa kita sedang menjalani babak-babak dalam kehidupan yang menyimpan banyak kejutan di dalamnya. Ada yang menyenangkan, ada pula yang menyakitkan dan membingungkan. Rasakan saja sensasinya. Just like a box of chocolates, we never know what we'll get..but we can have fun with that.

Kedua, ini saatnya kita menyibukkan diri dengan segala sesuatu yang bisa bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Jika selama ini kita merasa belum pernah bahagia atau merasa sangat senang, mungkin kita belum pernah berbagi dengan orang lain. Ada suatu perasaan super puas yang menjelma manakala kita mendahulukan kepentingan orang lain dan berbuat sesuatu bagi lingkungan. Jika kita tidak percaya, ini saatnya untuk mencoba.

Ketiga, kita harus belajar konsisten dan disiplin. Dua sikap itu amat penting untuk menguatkan diri kita kala diterpa rasa sedih karena 'tertinggal' dari yang lain. Dengan konsisten dan disiplin, kita menyadari bahwa diri kita berhak dan wajib bertambah baik dari hari ke hari, tak peduli sekeruh apa suasana hati kita. Jangan sampai karena sedih yang tak berujung, kita pun akan meratapi diri tanpa henti, lalu berhenti mengejar kebaikan. Saat menunggu, kita akan melihat bagaimana ikatan pertemanan dan persaudaraan yang hakiki dapat menumbuhkan semangat dan menguatkan kita untuk tak pesimis menatap hidup.

Keempat, berusaha untuk tak pernah lepas dari tawakkal. Tawakkal berarti tak sombong, juga tak takut. Ketika kita diberi kelebihan dalam hidup, kita tidak merasa besar karena kita tahu semua telah diatur oleh Sang Mahaagung. Sebaliknya kala kita sedang ditimpa kesulitan, kita tak gentar menghadapinya karena kita pun paham ini adalah sunnatullah yang berlaku baku bagi umat-Nya. Orang yang bertawakkal selalu memiliki harapan dalam melangkah. Orang yang bertawakkal selalu mengambil hikmah dari setiap peristiwa hidup. Orang yang bertawakkal tahu bahwa meski takdir telah digariskan, ia tetap diberi keleluasaan untuk mengubah nasibnya.

Kalau kita tak ingin menunggu, kita bisa bertanya dan memastikan kapan kita bisa meraih tujuan kita. Tapi ketika kita sadar bahwa ada kekuatan Mahadahsyat yang mengatur kita untuk harus menunggu, jangan pernah menggugat dan menyesali nasib. Karena, banyak hal tak terduga bisa terjadi dan menunggu pun bisa menjadi sesuatu yang indah.

Minggu, 31 Agustus 2008

Menjadi Bahagia Adalah Pilihan


Menjadi bahagia adalah pilihan. Sayangnya, tak semua dari kita memilih untuk bahagia. Kita lebih suka menikmati rasa sakit, dipusingkan oleh prasangka buruk dan kekhawatiran yang berlebih, hingga akhirnya 'terpaksa' (atau dipaksa) menyerah oleh keadaan. Alhasil, bete mudah hinggap cuma gara-gara macet, motor yang jalannya gila-gilaan (mungkin mereka merasa kembarannya kucing yang punya sembilan nyawa-atau merasa paling berkuasa hingga tak bisa disalahkan karena tak mungkin salah?), kurang berhasil mencapai target kerja, atau karena jodoh yang belum juga keliatan batang hidungnya (eitts..atau mungkin kita yang kurang teliti:-)). Akibatnya, kita merasa jadi manusia paling tidak beruntung sedunia. Mengalahkan mereka yang hanya bisa makan satu kali dan terpaksa tidur di kolong jembatan karena tak punya tempat tinggal. Yang kita lakukan hanya merutuki nasib lalu menyalahkan orang lain dan keadaan yang tidak kondusif.

Menjadi bahagia adalah pilihan. Tak banyak dari kita yang tahu bahwa manusia memiliki kesempatan dan kekuatan untuk menjadi bahagia, dalam kondisi terberat sekalipun. Karena, kuncinya ada pada pikiran kita. Yang harus kita lakukan tinggal mengatur mindset untuk selalu berada pada jalur bersyukur dan optimis. Seperti kata para motivator ulung: there is no "no way out" atas segala permasalahan dalam hidup. Selama pikiran kita berjalan on the right track, setiap kegagalan, kesendirian, ketakutan, dan ketidaknyamanan akan menjadi penyemangat untuk melompat lebih tinggi.

Menjadi bahagia adalah pilihan. Inilah saatnya mengubah duka menjadi suka. Mengganti getir menjadi manis. Kita bisa memilih hal-hal berikut ini:

  1. Menangis hingga menghabiskan tisu satu kotak lalu mandi atau sekadar mencuci muka.
  2. Membuat secangkir teh hangat (camomile or jasmine will be better), menghirup aromanya, dan meneguknya perlahan-lahan.
  3. Mengintrospeksi diri demi mencari akar permasalahan. Fokuskan pada diri kita sendiri. Meskipun permasalahan yang kita hadapi melibatkan orang lain, jangan sibuk mencari aib orang lain. Kita harus mencari solusi agar di kemudian hari tidak akan masuk ke lubang yang sama. Jika masalahnya karena kita bersikap plin-plan, cobalah untuk lebih tegas. Jika masalahnya karena kita teledor, belajarlah untuk lebih teliti. Jika masalahnya karena gengsi mengungkapkan perasaan, berusahalah untuk lebih jujur pada hati nurani.
  4. Mengatur strategi apa yang harus dilakukan agar apa yang telah kita kejar dan kerjakan tidak menjadi sia-sia.
  5. Meminta maaf pada orang yang kita sakiti dan memaafkan orang yang menyakiti kita tidak akan membuat kita menjadi pecundang.
  6. Meyakini bahwa apa yang terjadi adalah yang terbaik. Apa yang terjadi mungkin bukan apa yang kita inginkan, tapi yakinlah bahwa itulah yang kita butuhkan untuk menjadi manusia yang lebih arif dan bijak (karena kita diberi kesempatan untuk melihat sesuatu dari berbagai aspek).
  7. Memohon kekuatan dari Sang Penguasa alam semesta untuk lebih baik dalam mengambil keputusan dan menjalani kehidupan.
  8. Mengembangkan senyum, karena tanpa kita sadar, senyum mengandung semangat, optimisme, dan kesiapan tempur.

Menjadi bahagia adalah pilihan. Ini saatnya kita memilih delapan langkah tadi dibandingkan menyesali nasib, mengutuk orang lain karena tidak bisa melakukan sesuatu sesuai keinginan kita, bersikap sinis bahkan cenderung apatis terhadap orang dan keadaan, hingga akhirnya kita merasa hidup yang sulit ini menjadi 1000 x lebih sulit dan tidak adil pada kita. A pursuit of happiness.