Senin, 15 Desember 2008

Terjebak dalam Contradictio in Terminis


Saya menemukan kumpulan kata "contradictio in terminis" saat melihat review buku Legacy of Ashes, The History of CIA karya Tim Weiner di sebuah situs. Mungkin sebelumnya pernah liat, tapi belum terasa 'magnet'nya. Kata-kata yang unik. Contradictio in Terminis, secara sederhana bisa diartikan sebagai kontradiksi. Melirik ke Wikipedia, di sana ada contoh liquid ice dan square circle. Mungkin sama dengan sekumpulan orang yang mengadakan sumpah dan baiat anti korupsi, tapi pada kenyataannya nggak punya malu untuk ngambil uang rakyat.

Membicarakan korupsi terang-terangan, jadi ingat anggaran Pemda DKI Rp 35 juta untuk satu laptop karyawannya. Alasannya, karena nggak tau harganya, jadi dipakailah batas atas/maksimal. Kayaknya saya pingin banget teriak "Helllooooo...." dengan gaya
teenager masa kini. APA NGGAK BISA SURVEI HARGA, MINTA BROSUR, BROWSING, ATAU NANYA KE ORANG YANG BARU BELI LAPTOP?????? Emangnya mau laptop secanggih apa sih?? Emangnya laptop itu nanti mau digunain buat apa sih?? Apa daya, RAPBD 2009 sudah disahkan. Saya cuma bisa berdoa semoga alasannya bukan "supaya lebih asyik main solitaire" atau "supaya chatting dengan teman beda ruangan makin lancar". Saya berharap, semoga laptop canggih itu bener2 dipakai untuk proyek perencanaan tata kota yang lebih baik. Amiin...

Anyway, contradictio in terminis
juga bisa terjadi dalam diri manusia. Kita mungkin seringkali terjebak dalam situasi kontradiktif. Benci tapi rindu, mau melanjutkan kuliah tapi malas mendaftarkan diri ke universitas tujuan, ingin maju dalam karir tapi ogah mengembangkan network dan segan mengikuti berbagai forum diskusi. Termasuk juga ingin segera meninggalkan status lajang tapi belum siap seandainya ada yang ngajak nikah tiga bulan lagi. Atau mengatakan hidup ini indah lalu menangis sejadi-jadinya sedetik kemudian. Atau, kaum miskin di Jakarta makin banyak sementara mal megah yang menjadi fasilitator penyerbuan merk dunia juga makin banyak. Aneh. Tapi nyata.

Seringkali otak dan hati beradu argumen. Logika dan perasaan berbenturan. Saat kita merasa perlu melakukan sesuatu, saat itu pula ada bagian diri kita yang mengatakan sesuatu itu tak perlu dilakukan. Contoh nyata adalah ketika seseorang jatuh cinta. Akal sering tak bisa menerima apa yang hati katakan. Tapi karena perasaan menang dari logika, maka hal yang sepertinya tak masuk akal terasa mudah dan penting untuk dilakukan. Atau ketika orang yang ada di hadapan kita tidak memiliki akhlak karimah, tapi karena terlanjur cinta, maka kita menjadi permisif.


Dan terjebak dalam
a contradictio in terminis sungguh menyiksa. Sederet keinginan, mimpi, dan harapan telah terbangun dalam layar imajinasi. Tapi di kehidupan nyata, tak ada satu pun (atau mungkin hanya satu di antaranya) yang menjadi kenyataan. Bukan karena tidak direstui "langit", tapi karena usaha kita tidak sebesar harapan kita. Karena bagaimanapun juga, yang terpenting dalam meraih sesuatu adalah prosesnya.

Panas dingin. Gelap terang. Maju mundur. Jika ditelaah, sebuah contradictio in terminis tidak akan melahirkan dinamika dan pergerakan. Kontradiksi hanya melahirkan kebingungan, kesangsian, dan kestatisan. Tak ada langkah maju, karena mata tertutup dan kita bak berada dalam ruangan sempit tanpa sinar mentari. Sama seperti ketika saya menulis ini..benak saya meletupkan banyak kata-kata untuk diterjemahkan secara tertulis. Tapi sayang, apa yang saya tulis tak sesuai dengan apa yang ingin saya sampaikan. Bingung? Maklumlah, namanya juga sedang terjebak dalam sebuah contradictio in terminis...

Senin, 08 Desember 2008

Hakikat dan Makna Keibuan


Setiap orang punya pendapat masing-masing tentang sosok ibu. Bagi sebagian remaja sekarang, konsep ideal seorang ibu kira-kira “a superwoman who can act as a mother, friend, and sister. She always listens to what I want.” Konsep ideal ini secara implisit menyuarakan keegoisan dari orang yang mengatakannya, karena memfokuskan pada apa yang bisa ia peroleh dari ibu. Tidak ada gambaran utuh seorang ibu.


Sosok ibu amat lekat dengan konsep keibuan. Dalam persepsi saya, keibuan adalah manifestasi sifat dan sikap seseorang. Di mata saya, seseorang yang keibuan memiliki sifat welas asih, penyayang, penyabar, halus budi, arif, dan lembut. Berbagai sifat itu kemudian terakomodir dalam sikap mengayomi, mendidik, mengasuh, mendukung, dan pengertian. Keibuan adalah karakter kuat seorang perempuan yang menjadikannya berbeda dari laki-laki.


Seorang perempuan yang keibuan seharusnya bisa merasuki hati anak-anaknya dengan berbagai petuah dan hikmah tentang kesederhanaan dan kejujuran. Sifat dan sikap keibuan hendaknya bisa memotivasi anaknya untuk selalu hidup dalam kebaikan dan tidak melawan hati nurani. Sifat keibuan seharusnya bisa menjauhkan seseorang dari sifat rakus, pemarah, perusak, maling, dan hina. Tapi jika dilihat-lihat betapa makin tidak tau malunya para koruptor, preman, perampok, perempuan tuna susila, pembunuh, hingga pemuja seks bebas, apakah ini tandanya sifat dan sikap keibuan telah memudar?


Apakah perempuan semakin terlempar jauh dari kodrat keibuannya? Bukankah seharusnya sebagai induk dari tunas dan cikal bakal kehidupan, seorang ibu tak boleh terpisah dari keibuan sebagai citra dirinya? Benarkah keinginan untuk “berdiri sama tinggi” dengan laki-laki membuat perempuan tak bisa menghargai kelebihan yang dianugerahkan Allah untuknya?


Ya..perempuan mungkin khilaf, bahwa memerjuangkan hak perempuan untuk setara dengan laki-laki bukan lantas menafikan kekhasan yang melekat dalam dirinya. Karena, mengakui adanya perbedaan dengan laki-laki, bukan berarti perempuan menjadi lebih lemah atau lebih rendah kedudukannya.


Secara fisik, dengan kemampuan menahan sakit saat datang bulan, mengandung sembilan bulan, dan melahirkan..hanya orang gila yang mengatakan perempuan lebih lemah dari laki-laki. Jika dilihat dari kemampuan perempuan mengharmonikan pekerjaan rumah tangga dengan kasih sayangnya merawat suami dan anak-anak, hanya orang tidak waras yang mengatakan perempuan lebih lemah dari laki-laki. Belum lagi jika menyimak sabda Nabi Muhammad yang mengutamakan ibu tiga kali lebih penting dari ayah, masihkah kita berani mengatakan bahwa perempuan berkedudukan lebih rendah dari laki-laki?

Dengan begitu banyak kekhasan perempuan, bisakah perempuan menyukuri besarnya karunia Allah padanya? Mampukah perempuan menjaga amanah untuk melestarikan sifat dan sikap keibuannya dalam kehidupan sehari-hari? Dapatkah perempuan, di tengah ingar-bingar kompetisi berkarir dan riak gaya hidup kosmopolitan, menyebarkan sifat welas asihnya kepada sesama?


Ada yang bilang, sikap keibuan muncul otomatis ketika seorang perempuan melahirkan seorang anak. Inilah yang dinamakan naluri alamiah. Seorang ibu tentu akan sangat mencintai dan melindungi buah hatinya. Inilah sebuah perasaan yang tak bisa dipungkiri nurani. Lalu, apakah seorang perempuan lajang workaholic serta merta menjadi tidak memiliki sifat keibuan? Apakah seorang perempuan yang berpenampilan (dinilai orang) cenderung tomboi—karena lebih sering bercelana panjang daripada mengenakan rok—berkurang kadar keibuannya? Apakah perempuan yang memiliki banyak cita-cita dianggap belum terasah sifat keibuannya karena belum berkeluarga? Sejauh mana konsep keibuan melekat pada diri seorang perempuan?


Bagi saya, sifat dan sikap keibuan tidak berbanding lurus dengan penampilan fisik (rambut panjang, tubuh langsing dengan lekuk khas kaum hawa, suara merdu) atau status pernikahannya. Perempuan yang keibuan akan mampu membuat orang-orang di dekatnya merasa tenang dan nyaman. Nyaman untuk berbagi, menumpahkan perasaan, dan berdekatan dengannya. Orang-orang pun akan merasa diperhatikan, dicintai, dan disupport. Sebaliknya, seorang perempuan yang bawaannya grasak-grusuk, kasar dalam berkata-kata, tidak memerhatikan kepentingan orang lain, tidak peka terhadap kesulitan orang di sekitarnya, dan tidak bisa menikmati hidupnya...bagi saya, inilah tipe perempuan yang harus berlatih keras memancarkan sifat dan sikap keibuannya.


Maka, ketika seorang teman mengkritik bahwa saya kurang keibuan, tak urung kening saya berkerut. Apa saya benar-benar tidak bisa menghargai kelebihan saya sebagai perempuan: lemah lembut, pengertian, mengasihi. Duh, separah itukah saya?