Jumat, 19 September 2008

Tidak Mengabaikan Nurani


Satu manusia, satu kepala. Setiap kepala memiliki pikirannya sendiri. Dari pengalaman, seseorang kan memiliki cara pandang tersendiri tentang hidup dan segala atribut di dalamnya. Hitam, putih, atau berada di antara keduanya. Menyukai atau membenci. Berterima kasih atau memaki.

Tapi mengapa hidup kerap terasa sangat berat?

Pertama, karena kita selalu berusaha menyenangkan orang lain tanpa memerhatikan diri sendiri. Padahal, akan sangat sulit membahagiakan orang lain manakala kita tidak bahagia. Bagaimana mungkin membuat orang lain tertawa sementara kita sendiri menangis? "Aroma" kebahagiaan yang kita sebarkan tentu tak akan tercium orang lain karena kita menutupinya dengan kaca kesedihan, kepura-puraan, dan keterpaksaan.

Kedua, karena kita selalu berusaha terlihat baik di mata orang lain. Padahal, kita tau bahwa nobody's perfect dan manusia adalah tempatnya salah. Berusaha semaksimal mungkin berbeda maknanya dengan memaksakan sesuatu di luar kapasitas diri. Berkorban akan menjadi mulia bila dilandasi niat baik dan dilakukan dengan cara yang arif. Tapi, pengorbanan akan menjadi mubazir ketika tak ada yang merasa tertolong dengan apa yang telah kita korbankan. Tanpa tujuan, pengorbanan justru bisa berubah arah menjadi riya.

Ketiga, karena kita belum bisa lepas dari masa lalu (baik atau buruk). Ketika langkah kita selalu dibayangi kegemilangan masa lalu, kita tak enggan bereksplorasi dan maju satu langkah. Kita takut kehilangan kemilau yang menyinari diri kita. Sebaliknya, terikat dengan kesalahan di masa lalu hanya akan melahirkan ketakutan. Ketakutan ini menjelma menjadi sifat ekstra perfeksionis, tidak fleksibel, dan serba tanggung.

Maka kita harus mampu merasakan bahagia sebelum mengajak orang lain mencicipi kebahagiaan. Kita harus mampu menolong diri sendiri untuk bangkit dari keterpurukan agar bisa mengangkat orang lain dari jurang keterpurukan. Kita harus bisa legowo menerima banyaknya perbedaan pendapat di muka bumi ini, agar bisa mengajak orang lain melihat sesuatu dari berbagai sisi demi menggugurkan konflik. Hal-hal tadi bukan mengajak kita untuk menjadi egois, tapi agar bisa lebih powerful dalam menebar kebaikan.

Dan kita pun harus berani mengaku salah bila memang melakukan kesalahan. Bukan menimpakan kesalahan pada orang lain hingga harus berbohong menutupinya (percaya, ini sangat melelahkan!). Yang perlu kita lakukan adalah berbuat yang terbaik dalam hidup agar tak ada kata menyesal dan kehidupan kita--yang hanya sekali--dapat membawa berkah untuk diri sendiri dan orang lain. Minta maaf dan bertobat yang dilakukan dengan tulus saat kita melakukan kesalahan, insya Allah dapat menjadi perekat jalinan ukhuwah. Manusia mungkin saja berbuat salah (karena itu sangat manusiawi), tapi seyogyanya tahu cara mengatasinya.

Kita juga harus konsentrasi pada apa yang sedang kita lakukan. Jadikan masa lalu sebagai panduan yang tak selalu harus dibaca. Jadikan sebagai pelajaran berharga yang bisa diambil ibrahnya. Maka kita tak akan terpenjara emosi dan dendam yang tanpa sadar siap menggerogoti jiwa kebaikan kita. Kita adalah hari ini. Bukan kemarin, bukan esok. Dengan begitu, hidup terasa sangat ringan.

Jadi, jangan pernah mengabaikan nurani. Karena nurani lah yang akan "menyurati" kita tentang apa yang semestinya kita lakukan. Karena nurani tak pernah ingkar, selalu terjaga dari sifat iri dan benci, serta mengajarkan kita untuk menjalani sisa usia kita sebaik-baiknya.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

"...akan sangat sulit membahagiakan orang lain manakala kita tidak bahagia. Bagaimana mungkin membuat orang lain tertawa sementara kita sendiri menangis? "Aroma" kebahagiaan yang kita sebarkan tentu tak akan tercium orang lain karena kita menutupinya dengan kaca kesedihan, kepura-puraan, dan keterpaksaan."

Setuju banget gue!!!