Senin, 08 Desember 2008

Hakikat dan Makna Keibuan


Setiap orang punya pendapat masing-masing tentang sosok ibu. Bagi sebagian remaja sekarang, konsep ideal seorang ibu kira-kira “a superwoman who can act as a mother, friend, and sister. She always listens to what I want.” Konsep ideal ini secara implisit menyuarakan keegoisan dari orang yang mengatakannya, karena memfokuskan pada apa yang bisa ia peroleh dari ibu. Tidak ada gambaran utuh seorang ibu.


Sosok ibu amat lekat dengan konsep keibuan. Dalam persepsi saya, keibuan adalah manifestasi sifat dan sikap seseorang. Di mata saya, seseorang yang keibuan memiliki sifat welas asih, penyayang, penyabar, halus budi, arif, dan lembut. Berbagai sifat itu kemudian terakomodir dalam sikap mengayomi, mendidik, mengasuh, mendukung, dan pengertian. Keibuan adalah karakter kuat seorang perempuan yang menjadikannya berbeda dari laki-laki.


Seorang perempuan yang keibuan seharusnya bisa merasuki hati anak-anaknya dengan berbagai petuah dan hikmah tentang kesederhanaan dan kejujuran. Sifat dan sikap keibuan hendaknya bisa memotivasi anaknya untuk selalu hidup dalam kebaikan dan tidak melawan hati nurani. Sifat keibuan seharusnya bisa menjauhkan seseorang dari sifat rakus, pemarah, perusak, maling, dan hina. Tapi jika dilihat-lihat betapa makin tidak tau malunya para koruptor, preman, perampok, perempuan tuna susila, pembunuh, hingga pemuja seks bebas, apakah ini tandanya sifat dan sikap keibuan telah memudar?


Apakah perempuan semakin terlempar jauh dari kodrat keibuannya? Bukankah seharusnya sebagai induk dari tunas dan cikal bakal kehidupan, seorang ibu tak boleh terpisah dari keibuan sebagai citra dirinya? Benarkah keinginan untuk “berdiri sama tinggi” dengan laki-laki membuat perempuan tak bisa menghargai kelebihan yang dianugerahkan Allah untuknya?


Ya..perempuan mungkin khilaf, bahwa memerjuangkan hak perempuan untuk setara dengan laki-laki bukan lantas menafikan kekhasan yang melekat dalam dirinya. Karena, mengakui adanya perbedaan dengan laki-laki, bukan berarti perempuan menjadi lebih lemah atau lebih rendah kedudukannya.


Secara fisik, dengan kemampuan menahan sakit saat datang bulan, mengandung sembilan bulan, dan melahirkan..hanya orang gila yang mengatakan perempuan lebih lemah dari laki-laki. Jika dilihat dari kemampuan perempuan mengharmonikan pekerjaan rumah tangga dengan kasih sayangnya merawat suami dan anak-anak, hanya orang tidak waras yang mengatakan perempuan lebih lemah dari laki-laki. Belum lagi jika menyimak sabda Nabi Muhammad yang mengutamakan ibu tiga kali lebih penting dari ayah, masihkah kita berani mengatakan bahwa perempuan berkedudukan lebih rendah dari laki-laki?

Dengan begitu banyak kekhasan perempuan, bisakah perempuan menyukuri besarnya karunia Allah padanya? Mampukah perempuan menjaga amanah untuk melestarikan sifat dan sikap keibuannya dalam kehidupan sehari-hari? Dapatkah perempuan, di tengah ingar-bingar kompetisi berkarir dan riak gaya hidup kosmopolitan, menyebarkan sifat welas asihnya kepada sesama?


Ada yang bilang, sikap keibuan muncul otomatis ketika seorang perempuan melahirkan seorang anak. Inilah yang dinamakan naluri alamiah. Seorang ibu tentu akan sangat mencintai dan melindungi buah hatinya. Inilah sebuah perasaan yang tak bisa dipungkiri nurani. Lalu, apakah seorang perempuan lajang workaholic serta merta menjadi tidak memiliki sifat keibuan? Apakah seorang perempuan yang berpenampilan (dinilai orang) cenderung tomboi—karena lebih sering bercelana panjang daripada mengenakan rok—berkurang kadar keibuannya? Apakah perempuan yang memiliki banyak cita-cita dianggap belum terasah sifat keibuannya karena belum berkeluarga? Sejauh mana konsep keibuan melekat pada diri seorang perempuan?


Bagi saya, sifat dan sikap keibuan tidak berbanding lurus dengan penampilan fisik (rambut panjang, tubuh langsing dengan lekuk khas kaum hawa, suara merdu) atau status pernikahannya. Perempuan yang keibuan akan mampu membuat orang-orang di dekatnya merasa tenang dan nyaman. Nyaman untuk berbagi, menumpahkan perasaan, dan berdekatan dengannya. Orang-orang pun akan merasa diperhatikan, dicintai, dan disupport. Sebaliknya, seorang perempuan yang bawaannya grasak-grusuk, kasar dalam berkata-kata, tidak memerhatikan kepentingan orang lain, tidak peka terhadap kesulitan orang di sekitarnya, dan tidak bisa menikmati hidupnya...bagi saya, inilah tipe perempuan yang harus berlatih keras memancarkan sifat dan sikap keibuannya.


Maka, ketika seorang teman mengkritik bahwa saya kurang keibuan, tak urung kening saya berkerut. Apa saya benar-benar tidak bisa menghargai kelebihan saya sebagai perempuan: lemah lembut, pengertian, mengasihi. Duh, separah itukah saya?

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Ih siapa coba yang bilang kalo lo kekurangan naluri keibuan? Dia belum kenal gue kali ya Vi? Gue sampe sekarang ajah masih takut banget jadi ibu. Gue takut gak bisa jadi ibu yang baik. Kalo begitu, gue punya naluti keibuan yang tidak alamiah gak Vi?

vi mengatakan...

tapi dari cara jeng ami menghandle adik perempuan, rasanya keibuan jeng ami tidak perlu diragukan..