Jumat, 26 September 2008

Jujur pada Diri Sendiri


Mengapa bersikap jujur (sering) terasa tidak mudah? Karena kita juga (sering) tidak bisa jujur pada diri sendiri. Kita lebih suka melakukan penyangkalan terhadap perasaan suka, gelisah, benci, takut, penasaran, dan kegamangan emosi lainnya. Kita tidak sadar bahwa semakin kita menolak menyadari gejolak emosi yang mendera, kita akan semakin sulit mengenali diri sendiri. Mengapa? Karena semua tentang diri kita tertutup selaput tipis, yang mampu meredam perasaan kita agar tak mencuat ke permukaan.

Bayangkan betapa tersiksanya saat kita harus menipu diri sendiri, ketika tanpa sadar perasaan suka, sayang, dan cinta tumbuh terhadap seseorang. Penyangkalan demi penyangkalan yang kita maklumatkan hanya akan membuat perasaan itu tumbuh kian kokoh. Betapa bodohnya kita menyia-nyiakan pertemuan dengannya hanya dengan diam dan menatapnya diam-diam. Betapa angkuhnya kita, menyambutnya dengan datar, padahal ujung bibir begitu ingin melengkungkan senyum saat berhadapan dengannya. Karena kita tak berani mengakui perasaan kita sendiri, takut terluka bila ternyata dia tak bisa jadi milik kita. Tak berani jujur pada diri sendiri dan memilih untuk membohongi nurani.

Di sisi lain, bayangkan betapa munafiknya kita mengembangkan senyum untuk orang yang kita benci. Pura-pura antusias mendengar musik acid jazz saat kongkow di kafe, padahal sebenarnya kita adalah pencinta musik pop ringan yang mendayu-dayu. Atau berlagak kuat menghadapi pekerjaan berdead line ketat, padahal kita tak punya kompentensi untuk mengerjakannya. Ketidakjujuran itu hanya akan memaksa kita terus berbohong dan berbohong untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Tak ayal hidup pun terasa tak pernah menyenangkan.

Akibatnya, nurani pun terabaikan. Topeng seakan telah bersatu dengan wajah kita. Kita tak lagi tau apa yang sebenarnya sedang kita rasakan. Entah gembira, sedih, malu-malu, geram, atau sedang terpesona pada seseorang. Semua terjadi karena kita tak mau jujur pada diri sendiri. Karena kita memilih untuk lari dari kenyataan, memaksakan diri bahwa segala sesuatu berjalan baik. Padahal, kita bisa lebih merasa tenang jika tak membohongi diri sendiri.

Jika kita sudah tidak mau bahkan tak mampu lagi jujur pada diri sendiri, lalu bagaimana kita bisa berbuat jujur pada orang lain dan masyarakat? Para koruptor menjadi contoh bagaimana mereka telah berhasil membutakan mata hati, menutupi perasaan bersalah dan malu, hingga tak lagi memerdulikan kemaslahatan diri dan orang lain. Mereka sukses menghalangi nurani kemanusiaan mereka dengan silaunya kemewahan dunia yang bersifat sementara.

Maka jujurlah pada diri sendiri. Biarkan kaki melangkah mengikuti kata hati. Sinari jalan di depan kita dengan lentera jiwa yang dihidupkan dari sikap jujur pada diri sendiri. Jujur pada diri sendiri menjadi penting agar setiap lengkungan ombak perasaan yang naik turun dapat menjadi secangkir teh hangat di pagi bagi kita. Membangkitkan semangat, menenangkan, dan menambah kedinamisan hari-hari kita. Coz, honesty will bring happiness that we never feel before.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Ih bener banget Vi.