Kamis, 03 Desember 2009

What A…

Kabar Siang di tvOne hari ini, 3 Desember 2009. Hakim Ketua sidang Jaksa Ester yang didakwa menjual 300 butir pil ekstasi hasil sitaan penggerebekan narkoba di sebuah apartemen di Jakarta Utara, menjelaskan bahwa ringannya hukuman Jaksa Ester karena kesalahan itu dianggap KELALAIAN DALAM BERTUGAS. Dan karena pekerjaan utamanya bukan pengedar ekstasi. Ditambah lagi, Jaksa Ester dikatakan sudah berjasa pada masyarakat selama belasan tahun.

Astaghfirullah..Astaghfirullah..Astaghfirullah..

Batin hanya bisa melafalkan kata itu. Tidak lebih.

Saya sangat penasaran dengan sudut pandang yang dipakai oleh Bapak Hakim.

Bukannya justru karena Jaksa Ester adalah penegak hukum alias abdi negara maka seharusnya dia dilarang dua kali lebih keras daripada warga biasa untuk melanggar hukum. Bukannya justru karena pekerjaan utamanya sebagai jaksa maka dia dilarang dua kali lebih keras daripada warga biasa untuk mengambil “sidejob” sebagai penjual narkoba. Apalagi, narkoba yang dijual adalah barang bukti yang disita dari sebuah kasus hukum.

Mengapa bisa mendapat hukuman ringan?

Bagaimana mungkin kesalahan itu menjadi “kelalaian dalam bertugas”?

Sementara tiga butir kakao ditukar satu setengah bulan penjara.

Sementara gara-gara satu semangka harus mendekam di penjara.

Sementara satu butir ekstasi membawa Amir Machmud tinggal di bui selama empat tahun.

Keadilan.
Benar-benar gelap. Menjelang gulita.

Astaghfirullah...

Selasa, 10 November 2009

Rasa

Menurut saya semuanya sempurna. Penuh warna, indah. Tapi lalu kesempurnaan itu berubah menjadi ketidakpercayaan diri, kekhawatiran, dan berujung pada (hampir) keputusasaan. Saya mencintainya dengan segenap raga dan jiwa. Tapi mendadak, saya merasa tidak pantas untuknya....

Minggu, 30 Agustus 2009

Sebuah Pertanyaan tentang Cinta


Bagaimana menjawab pertanyaan: Cinta seperti apa yang kamu rasakan?

Ternyata sangat tidak mudah mengungkapkan isi hati dan pikiran ke dalam rangkaian kata...


Kamis, 28 Mei 2009

Yang terlintas di benak..

Kedewasaan harus dibentuk, ia tidak datang dengan sendirinya..

INDEPENDENSI TELEVISI DALAM PILPRES 2009


Loyalitas jurnalis adalah kepada publik. Kepentingan yang diusung dalam setiap pemberitaan adalah kepentingan masyarakat. Dua hal tersebut harus dimiliki stasiun televisi sebagai media informasi, terutama bagi stasiun tv yang mengklaim diri sebagai tv berita. Karena itulah, independensi stasiun tv harus terjaga agar konflik kepentingan—antara tokoh politik, partai politik tertentu, atau penguasa—bisa dihindari.

Dalam menyambut Pilpres 2009, stasiun tv sebagai media harus memberi gambaran secara utuh tentang profil para capres dan cawapres. Profil tersebut bukan sekadar biodata pribadi, tapi harus memperlihatkan prestasi dan kegagalan para calon pemimpin dalam kapasitas mereka sebagai individu, makhluk sosial, maupun tokoh masyarakat. Terlebih mereka yang pernah mengemban jabatan publik atau militer.

Tidak hanya memperlihatkan karakter pribadi dan pengalaman para calon pemimpin, media juga harus mampu menghadirkan analisis dan prediksi seputar duet kepemimpinan dan koalisi partai politik pendukung capres-cawapres. Dari profil pribadi, pendapat para pengamat politik, dan mengamati sepak terjang masing-masing calon pemimpin, media harus mampu menginformasikan kelebihan dan kekurangan ”paket” calon pemimpin 2009-2014.

Dalam menginformasikan kekuatan dan kelemahan tersebut, stasiun tv harus melakukannya dengan netral dan independen. Kunci utamanya adalah dengan tidak mengemukakan opini dalam pemberitaan seputar pilpres. Masyarakat cukup disodorkan fakta-fakta dari gambar di lapangan, diperdengarkan para tokoh yang diwawancarai, dan diperlihatkan data. Media memiliki kewajiban untuk menyuguhkan hal-hal positif maupun negatif. Namun hasil akhirnya tetap diserahkan kepada publik untuk menilai dan memutuskan.

Selain mengulas lengkap para calon pemimpin di pilpres 2009, stasiun tv juga harus menginformasikan tahapan pilpres dengan jelas. Di sinilah peran stasiun tv sebagai pendidik masyarakat dimainkan. Masyarakat harus tahu bagaimana para capres dan cawapres tersebut mematuhi jadwal yang diberikan KPU dan bagaimana mereka memanfaatkan hari-hari tersebut. Masyarakat diharapkan dapat melihat efektivitas dan efisiensi kampanye yang dilakukan para capres dan cawapres.

Independensi stasiun tv juga menjadi sangat penting karena masyarakat Indonesia sudah mulai kritis dalam menyikapi pemberitaan media. Simbol, narasi, cuplikan-cuplikan gambar dan kutipan pernyataan para tokoh yang tidak berimbang akan dengan mudah menimbulkan persepsi di masyarakat bahwa stasiun tv yang menayangkannya adalah kendaraan politik tokoh atau parpol tertentu. Karena itulah, stasiun tv harus selektif menayangkan gambar, komentar, dan data. Temasuk di dalamnya narasumber, baik individu (pengamat politik) maupun sumber data lain (lembaga survei dan riset).

Jumat, 24 April 2009

Mencoba Jujur pada Diri Sendiri

I feel something..and i say it. Meski sangat berat pada awalnya, namun akhirnya saya berhasil juga mengekspresikan perasaan saya lewat kata-kata. Tercurah begitu saja. Mengalir tanpa beban. Tanpa pretensi. Tanpa dipenuhi kekhawatiran apakah hari esok rasa itu akan tetap bertahan. Berbeda jauh dengan diri saya yang dulu. Yang selalu mengutamakan logika, daripada perasaan.

Setelah dicoba, ternyata menyenangkan juga. Menenteramkan, malah. Karena tidak ada yang mengganjal di hati dan pikiran. Tidak ada yang membuat tidur terasa tidak nyenyak. Tidak ada yang membuat senyum terasa hambar untuk ditebar. Ternyata tidak ada ruginya menyenangkan diri sendiri sekaligus membahagiakan orang lain. Tidak ada salahnya menikmati apa yang dianugerahkan Allah pada hari itu. Yang terpenting, saya selalu mencoba menjaga syukur agar tak pernah lari. Agar kejujuran yang saya tanamkan ke diri saya, tidak lantas mengaburkan ke-hamba-an saya. Karena jujur, saya sangat takut kehilangan kesempatan untuk bahagia.

Minggu, 01 Maret 2009

Selalu Bersiap Diri


Kata Mario Teguh, kita harus menjadi orang yang siap. Dengan begitu, kita dapat memohon pada Tuhan untuk menggunakan kesiapan kita. Tuhan tidak akan memberikan kesempatan pada orang yang belum siap, atau tidak bisa menyiapkan diri dengan cepat. See?

Berarti memang tidak ada yang namanya kebetulan. Tidak ada yang namanya “just luck”. Kita mendapatkan sesuatu ketika kita siap. Ketika kita memohon (sambil setengah memaksa) tapi tidak juga dikabulkan, tengoklah kesiapan diri kita daripada menyalahkan keadaan. Tidak ada gunanya membandingkan “kekurangan” diri kita dengan kelebihan yang dimiliki orang lain. Lebih baik, inventarisir “kekayaan” diri yang ada pada diri kita lalu merancang berbagai rencana untuk ke depan. If plan A doesnt work, go to plan B. Dan seterusnya. Di situlah kegigihan kita diuji.

Bicara tentang kegigihan, saya teringat komentar seorang teman tentang hobi belanja saya. Dia bilang, jika perempuan bisa begitu gigih untuk berbelanja, kenapa laki-laki tidak bisa gigih memperjuangkan cinta? Belanja dan cinta. Saya hanya tersenyum melihat perbandingan itu. Sama-sama gigih, namun dalam situasi yang berbeda. Tapi intinya sama, mendapatkan sesuatu (dalam kasus cinta: seseorang).

Tapi, apakah ketidaksiapan bisa menjadi alasan kita menolak “anugerah” yang diberikan Tuhan? Misalnya saja cobaan atau ujian yang datang untuk menguji seberapa besar kesabaran kita menjalani hidup. Belum mendapat pekerjaan, belum menikah meski usia sudah hampir masuk tiga dekade, belum punya rumah sendiri, atau sudah bertahun-tahun tidak naik gaji..karena sepertinya hal-hal semacam itu tidak bisa dihindari.

Ya..seminim apapun “senjata” yang kita punya, kita harus selalu siap menghadapi peperangan. Walaupun kita merasa masih banyak hal yang belum berhasil kita capai, kita harus selalu siap menjalani hari esok. Hari gini masih ngerasa jadi orang paling menderita sedunia? Plis deh..Sudah bukan jamannya takluk pada kesusahan. Kini saatnya kita menaklukkan kesusahan. Bisa jadi, prinsip takut susah dan tidak mau susah adalah alasan kenapa praktik aborsi ilegal makin marak. Terakhir, sebuah klinik aborsi di Johar Baru, Jakarta digerebek polisi. Mirisnya, klinik itu telah beroperasi selama 10 tahun! Apakah ini tandanya semakin banyak orang tidak mau berjuang? Wallahu a'lam.

Masih banyak keindahan dunia yang bisa kita nikmati dengan cara yang santun. Masih banyak hal yang bisa dipelajari untuk memperkaya diri. Masih banyak networking yang bisa dibangun untuk mengembangkan diri. Dan masih banyak orang baik yang bisa dijadikan teman berbagi cerita. Berapa umur kita sekarang? 26, 29, 30? Tak perlu menyesali kenapa hingga sekarang belum bisa sesukses si A, B, atau C. Lebih baik tekadkan bahwa hidup kita dimulai sekarang. Saat ini. Itulah persiapan terbaik yang kita bisa kita lakukan. Setelah itu, kita tinggal menunggu kebaikan apa yang direncanakan Tuhan untuk kita.

Like Maya Angelou said, “Life is not measured by the number of breaths we take, but by the moments that take our breath away.”